Fakkara (memikirkan atau berpikir)

FAKKARA (memikirkan, berfikir)

Kata fakkara (فَكَّر) adalah kata kerja yang berakar dari huruf-huruf fâ’ (فَاء), kâf (كَاف), dan râ’ (رَاء). Ibnu Faris di dalam Mu‘jam Maqâyîsil Lughah menulis bahwa struktur akar kata ini mengandung makna pokok “bolak-baliknya hati dalam suatu masalah”. Menurut Ibrahim Mustafa di dalam Al-Mu‘jam Al-Wasîth, akar katanya adalah fakara (فَكَرَ), yang secara leksikal bermakna “mendaya­gunakan akal dalam suatu urusan dan menyusun suatu masalah yang diketahui untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui’.

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa sebagian ahli bahasa berpendapat, kata fakara terambil dari kata faraka (فَرَكَ), dengan mendahulukan huruf râ’ atas huruf kâf, yang antara lain berarti “mengorek sehingga apa yang dikorek itu muncul”, “menumbuk sampai hancur”, atau “menyikat (pakaian) sehingga kotorannya hilang”. Jadi, kata faraka mempunyai makna yang mirip dengan kata fakara. Hanya saja, kalau faraka digunakan untuk hal-hal yang bersifat materil, maka fakara digunakan untuk hal-hal yang bersifat abstrak. Oleh karena itu, sebagian pakar menambahkan bahwa kata fakara tidak digunakan kecuali terhadap sesuatu yang dapat tergambar dalam benak. Itulah sebabnya, kata mereka, ada larangan berfikir menyangkut Allah Swt, “Jangan berfikir menyangkut Allah, tetapi berfikirlah tentang nikmat-nikmat-Nya”. Alasan­nya, Allah tidak dapat difikirkan, dalam artian dzat-Nya tidak dapat tergambar dalam benak seseorang.

Al-Ghazali di dalam Ihyâ’ ‘Ulûmud-Dîn, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan fakkara adalah menghadirkan dua penge­tahuan dalam hati untuk mendapatkan pengetahuan ketiga sebagai hasil dari perpautan pengetahuan terdahulu.

Di dalam Al-Qur’an, kata fakkara dan kata-kata yang seakar dengannya ditemukan sebanyak 18 kali. Kata fakkara sendiri disebutkan hanya sekali, yakni pada QS. Al-Muddatstsir [74]: 18, اِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ  (Se­sungguhnya dia telah me­mikir­kan dan menetapkan [apa yang ditetapkannya]).

Penggunaan kata fakkara yang hanya satu-satunya di dalam Al-Qur’an adalah dalam konteks pem­bicara­an tentang Al-Walid ibnu Al-Mughirah yang dikecam oleh Al-Qur’an, karena ia telah memikirkan dan menetap­kan, seperti ditegaskan ayat tadi. M. Quraish Shihab, ketika menafsirkan ayat ini menyatakan secara pasti bahwa Al-Walid dikutuk bukan karena ia berfikir, sebab Al-Qur’an sendiri menganjurkan setiap manusia untuk selalu berfikir. Ajaran Al-Qur’an tidak menghalangi seorang muslim untuk menerima hasil pemikiran non-muslim yang baik dan ber­manfaat. Akan tetapi, Al-Walid dikutuk karena “cara” ia berfikir tidak disetujui Al-Qur’an. Cara berfikirnya mem­perturut­kan syahwat keduniaan secara berlebih-lebihan dalam rangka memenuhi ambisi, memperoleh ke­dudukan, atau harta benda, sehingga ketika itu ia tidak lagi memiliki keseimbangan. Dalam hal ini, Al-Walid tidak obyektif lagi dalam berfikir dan tentu saja hasilnya tidak akan menyentuh kebenaran, sehingga tidak membawa rahmat, atau dengan kata lain “terkutuk”.

Dari uraian lain bisa disimpulkan bahwa kata fakkara dan kata-kata yang seakar dengannya mengandung makna “memikirkan” atau “berfikir”. Makna ini juga telah masuk ke dalam perbendahara­an Bahasa Indonesia sebagai perkembang­an dari makna pokoknya, yakni “mendayagunakan akal dalam suatu masalah untuk mengetahui sesuatu yang belum di­ketahui’. (Muhammadiyah Amin)

2 thoughts on “Fakkara (memikirkan atau berpikir)”

Leave a comment