Nur (cahaya)

NUR (Cahaya)

Kata nûr (نُوْرٌ), terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf nûn, wauw, dan ra’. Maknanya yang populer adalah cahaya. Tetapi di samping itu, dari huruf-huruf ini juga dibentuk kata yang bermakna, gejolak, kurang stabil, dan tidak konsisten. Api dinamai nâr, bukan saja karena dia memberi cahaya, tetapi juga karena dia bergejolak dengan cepat, sekali bekobar ke atas, sekali menurun, karena terpaan angin.

Kata nûr secara berdiri sendiri ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 33 kali, di samping itu ditemukan pula kata ini digandengkan dengan kata ganti persona pertama, kedua, dan ketiga; dia, kamu, kami, dan mereka.

Merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an, ditemukan bahwa kata nûr, paling tidak me­munyai sepuluh makna, yaitu 1) Agama Islam, 2) Iman, 3) Pemberi petunjuk, 4) Nabi Muhammad saw., 5) Cahaya siang, 6) Cahaya bulan, 7) Cahaya yang menyertai kaum Mukmin ketika me­nyebarang shirâth (titian), 8) Penjelasan tentang halal dan haram yang terdapat dalam Taurat, 9) Injil, dan 10) Al-Qur’an, serta 11) Keadilan.

Banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah pemberi cahaya, misalnya, (“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan (QS. Al-Mâ’idah [5]: 15). (Dialah yang men­jadikan matahari bersinar dan bulan nûran/bercahaya” (QS. Yûnus [10]: 5).

Ulama-ulama merujuk kepada firman-Nya dalam QS. An-Nûr [24]: 35: “Allâhu nûr as-samâwât wa al-ardh, untuk me­nyatakan bahwa nûr adalah sifat/nama Allah. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang maksud ayat tersebut.

Ibnu al-Arabi mengemukakan enam pen­dapat ulama tentang makna nûr yang menjadi sifat Allah ini, yaitu: a. Pemberi hidayah (penghuni langit dan bumi), b. Pemberi cahaya, c. Penghias, d. Yang zhâhir (tampak dengan jelas), e. Pemilik cahaya, dan f. Cahaya tetapi bukan seperti cahaya yang dikenal. Walau para ulama berbeda pendapat tentang maknanya, namun mereka sepakat bahwa Allah bukan cahaya sebagaimana yang kita kenal. Bukankah Dia “laisa ka mitslihi syaiun ( tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya?

Kata nûr jika dikemukakan dalam konteks uraian tentang manusia—baik dalam kehidupan­nya di dunia maupun di akhirat—mengandung makna hidayah dan petunjuk Allah atau dampak dan hasilnya. Perhatikan antara lain QS. Al-Baqarah [2]: 257,  Az-Zumar [39]: 22,  Asy-Syûrâ [42]: 52, dan Al-Hadîd [57]: 13).

Adapun jika kata yang terangkai dari ketiga huruf di atas menyifati benda-benda langit, maka ia mengandung makna cahaya, tetapi cahaya yang merupakan pantulan dari benda langit lainnya yang bercahaya. Ketika berbicara tentang matahari dan bulan, Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah menjadikan bulan nûr dan matahari dhiyâ’/ (QS. Yûnus [10]: 5). Di kali lain bulan dilukiskan sebagai munîr/ (QS. Al-Furqân [25]: 61). Dari Al-Qur’an ditemukan bahwa kata yang terangkai dari huruf-huruf yang sama dengan huruf-huruf kata dhiyâ’, digunakan oleh Al-Qur’an untuk cahaya yang bersumber dari dirinya sendiri, karena itu matahari dijadikan Allah dhiyâ’ bukan nûr karena cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, bukan pantulan sebagaimana halnya bulan.

Matahari, api, atau kilat, (yang cahaya) semuanya dilukiskan Al-Qur’an dengan meng­gunakan kata yang berakar sama dengan dhiyâ’. Jangan duga bahwa cahaya tersebut benar-benar bersumber dari dirinya sendiri. Ini hanya relatif ketika dibandingkan dengan yang lain. Ini juga hanya ketika didasarkan pada kenyataan yang kita lihat dengan mata kepala, atau kita ketahui, tetapi sebenarnya semua cahaya tersebut bersumber dari Allah dan semua pada ha­kikatnya adalah nûr, dalam arti pantulan dari sumber cahaya yang tidak redup, yaitu Allah swt. Karena itu dinyatakan-Nya:

“Segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi, dan menjadikan nûr/cahaya dan gelap (untuk seluruh yang ada di alam raya)” (QS. Al-An‘âm [6]: 1).

Atas dasar itulah kita hendaknya me­mahami kata nûr bagi Allah, dalam arti Pemilik dan Pemberi cahaya, bagi seluruh yang ber­cahaya di alam raya.

Imam Ghazali menjelaskan bahwa nûr adalah “Yang zhâhir/jelas pada dirinya dan yang bersumber kepadanya segala yang jelas.”

Kalau kita perhadapkan wujud ini dengan ketiadaan, maka tidak dapat tidak, pastilah yang tampak adalah yang wujud, dan tiada kegelapan melebihi gelapnya ketiadaan, karena itu tulis Al-Ghazali lebih lanjut: “Yang tidak disentuh oleh kegelapan ‘adam ([ketiadaan]), bahkan tidak disentuh oleh kemungkinan ketiadaan, (Yang wajib wujud-Nya) serta yang mengeluarkan segala sesuatu dari kegelapan ketiadaan menuju kejelasan wujud (Sang Pencipta), pastilah Dia yang wajar menyadang nama Nûr.”

Al-Qur’an, selalu menggunakan kata nûr dalam bentuk tungggal, berbeda dengan kegelapan (zhulumât) yang selalu berbentuk jamak. Ini untuk mengisyarakan bahwa sumber cahaya hanya satu, yaitu Allah swt. Oleh karena itu, ditegaskan-Nya bahwa (”Barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia memunyai cahaya sedikit pun” (QS. An-Nûr [24]: 40).

Adapun kegelapan sungguh banyak, sum­bernya pun beraneka ragam. Di sisi lain, ketika Al-Qur’an menyebut nûr dan zhulumût secara bergandengan, yang disebutnya terlebih dahulu adalah zhulumât. Ini bukan saja karena kegelapan (ketiadaan) mendahului cahaya (wujud) tetapi karena cahaya petunjuk-Nya adalah nûr ‘alâ nûr (yakni cahaya di atas cahaya maka betapapun terangnya cahaya yang telah Anda raih, masih ada cahaya terang yang melebihinya, dan ketika Anda berada pada cahaya yang melebihi itu, maka cahaya yang telah Anda raih sebelumnya, adalah relatif gelap. Itu sebabnya mereka yang telah memperoleh cahaya petunjuk-Nya pun, masih dapat memperoleh tambahan petunjuk, (”Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk” (QS. Maryam [19]: 76). Demikian, wa Allâh A’lam. [M. Quraish Shihab]i

Leave a comment