Masih ingatkah kita…(pentingnya manajemen penanggulangan bencana di Indonesia)


Indonesia sebagai negara kepulauan yang diapit dua samudera dan dua benua dan ditambah lagi dengan dilewatinya Indonesia oleh Cincin Api (ring of fire) menyebabkan Indonesia menjadi rawan akan terjadinya bencana alam.

Beberapa tahun belakangan ini rentetan bencana alam terjadi di Indonesia, yang semuanya itu terjadi seperti tak akan ada akhirnya. Memang sejak dahulu dalam sejarah bangsa Indonesia, kehidupannya banyak diisi dengan tragedi-tragedi kemanusiaan yang diakibatkan oleh bencana alam, baik terjadi karena faktor alam, kelalaian dan ketamakkan manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Berbicara mengenai bencana alam,  masih ingatkah kita pada bulan Desember 2004, tersentuh hati dan jiwa kita ketika mendengar terjadinya bencana alam yang dahsyat bahkan terbesar sepanjang kehidupan umat manusia di abad 21, ya bencana itu adalah gempa bumi dan gelombang tsunami yang menimpa saudara-saudara kita di sepanjang pantai barat dan utara pulau Sumatera. Ratusan ribu jiwa meninggal dan puluhan ribu lainnya tak dapat diketemukan hingga kini. Rumah, masjid dan bangunan-bangunan lainnya tersapu sampai hancur oleh gelombang tsunami yang dahsyat.

Dari setiap bencana yang telah terjadi di Indonesia pemerintah seakan terlambat, tidak tanggap dan cepat bereaksi dalam penanggulangan bencana, bahkan cenderung terlihat menelantarkan para korban bencana. Adapula masalah pengungsian yang tidak terkoordinasi dengan baik dan terlihat sangat berantakan manajemennya, sehingga masyarakat menjadi bingung untuk kemana mencari bantuan dengan cepat tanpa berbelit-belit seperti yang terjadi saat ini.

Oleh sebab itu saya sebagai penulis dalam artikel ini merasa penting untuk mengangkat masalah sistem manajemen penanggulangan bencana ke dalam pembicaraan mulai dari tingkat rukun tetangga (masyarakat) hingga departemen terkait untuk bersama-sama kita analisis dan kita bangun sistem yang bagus serta tidak berbelit.

Sebagai ilmu pengetahuan, manajemen juga bersifat universal, dan mempergunakan kerangka ilmu pengetahuan yang sistematis mencakup kaidah-kaidah, prinsip dan konsep yang cenderung tepat dalam seluruh kondisi pengorganisasian. Jadi ilmu pengetahuan manajemen dapat diterapkan dalam pengorganisasian penanggulangan bencana baik dalam tingkat pemerintah, lembaga sosial, dan koordinasi di lapangan. Sehingga dapat disimpulkan bila manajemen dalam penanggulangan tidak terkoordinasi baik maka akan banyak korban yang terlantar dan bisa mengakibatkan kematian bagi jiwa yang seharusnya bisa tertolong dengan penanganan yang cepat, terjadi kekisruhan akibat saling memperebutkan bantuan sandang dan pangan yang diberikan, dan akan terjadi kondisi yang kumuh serta tidak teratur di tempat-tempat pengungsian.

Dari berbagai masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa manajemen yang baik dalam penanggulangan bencana alam sangat dibutuhkan guna meringankan beban para korban.

Oleh karena itu untuk Pemerintahan baik pusat maupun daerah, agar senantiasa lebih cepat tanggap akan aspirasi dan kebutuhan masyarakat sehingga apabila masyarakat membutuhkan bantuan maka dengan cepat kebutuhan tersebut terpenuhi. Dan masyarakatpun pada akhirnya akan merasa bangga akan negaranya sendiriyang pemerintahnya senantiasa memperhatikan seluruh rakyatnya tanpa membeda-bedakan suku, agama dam ras. (Halilintar)

Nur (cahaya)


NUR (Cahaya)

Kata nûr (نُوْرٌ), terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf nûn, wauw, dan ra’. Maknanya yang populer adalah cahaya. Tetapi di samping itu, dari huruf-huruf ini juga dibentuk kata yang bermakna, gejolak, kurang stabil, dan tidak konsisten. Api dinamai nâr, bukan saja karena dia memberi cahaya, tetapi juga karena dia bergejolak dengan cepat, sekali bekobar ke atas, sekali menurun, karena terpaan angin.

Kata nûr secara berdiri sendiri ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 33 kali, di samping itu ditemukan pula kata ini digandengkan dengan kata ganti persona pertama, kedua, dan ketiga; dia, kamu, kami, dan mereka.

Merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an, ditemukan bahwa kata nûr, paling tidak me­munyai sepuluh makna, yaitu 1) Agama Islam, 2) Iman, 3) Pemberi petunjuk, 4) Nabi Muhammad saw., 5) Cahaya siang, 6) Cahaya bulan, 7) Cahaya yang menyertai kaum Mukmin ketika me­nyebarang shirâth (titian), 8) Penjelasan tentang halal dan haram yang terdapat dalam Taurat, 9) Injil, dan 10) Al-Qur’an, serta 11) Keadilan.

Banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah pemberi cahaya, misalnya, (“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan (QS. Al-Mâ’idah [5]: 15). (Dialah yang men­jadikan matahari bersinar dan bulan nûran/bercahaya” (QS. Yûnus [10]: 5).

Ulama-ulama merujuk kepada firman-Nya dalam QS. An-Nûr [24]: 35: “Allâhu nûr as-samâwât wa al-ardh, untuk me­nyatakan bahwa nûr adalah sifat/nama Allah. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang maksud ayat tersebut.

Ibnu al-Arabi mengemukakan enam pen­dapat ulama tentang makna nûr yang menjadi sifat Allah ini, yaitu: a. Pemberi hidayah (penghuni langit dan bumi), b. Pemberi cahaya, c. Penghias, d. Yang zhâhir (tampak dengan jelas), e. Pemilik cahaya, dan f. Cahaya tetapi bukan seperti cahaya yang dikenal. Walau para ulama berbeda pendapat tentang maknanya, namun mereka sepakat bahwa Allah bukan cahaya sebagaimana yang kita kenal. Bukankah Dia “laisa ka mitslihi syaiun ( tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya?

Kata nûr jika dikemukakan dalam konteks uraian tentang manusia—baik dalam kehidupan­nya di dunia maupun di akhirat—mengandung makna hidayah dan petunjuk Allah atau dampak dan hasilnya. Perhatikan antara lain QS. Al-Baqarah [2]: 257,  Az-Zumar [39]: 22,  Asy-Syûrâ [42]: 52, dan Al-Hadîd [57]: 13).

Adapun jika kata yang terangkai dari ketiga huruf di atas menyifati benda-benda langit, maka ia mengandung makna cahaya, tetapi cahaya yang merupakan pantulan dari benda langit lainnya yang bercahaya. Ketika berbicara tentang matahari dan bulan, Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah menjadikan bulan nûr dan matahari dhiyâ’/ (QS. Yûnus [10]: 5). Di kali lain bulan dilukiskan sebagai munîr/ (QS. Al-Furqân [25]: 61). Dari Al-Qur’an ditemukan bahwa kata yang terangkai dari huruf-huruf yang sama dengan huruf-huruf kata dhiyâ’, digunakan oleh Al-Qur’an untuk cahaya yang bersumber dari dirinya sendiri, karena itu matahari dijadikan Allah dhiyâ’ bukan nûr karena cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, bukan pantulan sebagaimana halnya bulan.

Matahari, api, atau kilat, (yang cahaya) semuanya dilukiskan Al-Qur’an dengan meng­gunakan kata yang berakar sama dengan dhiyâ’. Jangan duga bahwa cahaya tersebut benar-benar bersumber dari dirinya sendiri. Ini hanya relatif ketika dibandingkan dengan yang lain. Ini juga hanya ketika didasarkan pada kenyataan yang kita lihat dengan mata kepala, atau kita ketahui, tetapi sebenarnya semua cahaya tersebut bersumber dari Allah dan semua pada ha­kikatnya adalah nûr, dalam arti pantulan dari sumber cahaya yang tidak redup, yaitu Allah swt. Karena itu dinyatakan-Nya:

“Segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi, dan menjadikan nûr/cahaya dan gelap (untuk seluruh yang ada di alam raya)” (QS. Al-An‘âm [6]: 1).

Atas dasar itulah kita hendaknya me­mahami kata nûr bagi Allah, dalam arti Pemilik dan Pemberi cahaya, bagi seluruh yang ber­cahaya di alam raya.

Imam Ghazali menjelaskan bahwa nûr adalah “Yang zhâhir/jelas pada dirinya dan yang bersumber kepadanya segala yang jelas.”

Kalau kita perhadapkan wujud ini dengan ketiadaan, maka tidak dapat tidak, pastilah yang tampak adalah yang wujud, dan tiada kegelapan melebihi gelapnya ketiadaan, karena itu tulis Al-Ghazali lebih lanjut: “Yang tidak disentuh oleh kegelapan ‘adam ([ketiadaan]), bahkan tidak disentuh oleh kemungkinan ketiadaan, (Yang wajib wujud-Nya) serta yang mengeluarkan segala sesuatu dari kegelapan ketiadaan menuju kejelasan wujud (Sang Pencipta), pastilah Dia yang wajar menyadang nama Nûr.”

Al-Qur’an, selalu menggunakan kata nûr dalam bentuk tungggal, berbeda dengan kegelapan (zhulumât) yang selalu berbentuk jamak. Ini untuk mengisyarakan bahwa sumber cahaya hanya satu, yaitu Allah swt. Oleh karena itu, ditegaskan-Nya bahwa (”Barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia memunyai cahaya sedikit pun” (QS. An-Nûr [24]: 40).

Adapun kegelapan sungguh banyak, sum­bernya pun beraneka ragam. Di sisi lain, ketika Al-Qur’an menyebut nûr dan zhulumût secara bergandengan, yang disebutnya terlebih dahulu adalah zhulumât. Ini bukan saja karena kegelapan (ketiadaan) mendahului cahaya (wujud) tetapi karena cahaya petunjuk-Nya adalah nûr ‘alâ nûr (yakni cahaya di atas cahaya maka betapapun terangnya cahaya yang telah Anda raih, masih ada cahaya terang yang melebihinya, dan ketika Anda berada pada cahaya yang melebihi itu, maka cahaya yang telah Anda raih sebelumnya, adalah relatif gelap. Itu sebabnya mereka yang telah memperoleh cahaya petunjuk-Nya pun, masih dapat memperoleh tambahan petunjuk, (”Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk” (QS. Maryam [19]: 76). Demikian, wa Allâh A’lam. [M. Quraish Shihab]i

Ma’ruf (yang baik)


MA‘RÛF (Yang Baik)

Ma‘rûf adalah bentuk ism maf‘ûl (objek) dari kata ‘arafa (عَرَفَ) yang tersusun dari huruf ‘ain, ra’, dan fa’. Menurut Ibnu Faris di dalam Maqâyisul-Lughah, kata ini memiliki arti pokok ‘berturut-turut’ atau ‘ber­kesinambungan’, dan ‘tenang’. Dari akar kata tersebut lahir beberapa bentuk, antara lain a‘raf (أَعْرَف), yaitu ‘surai kuda’ karena surai itu bentuknya berurut-urut; ma‘rifah (مَعْرْفَة) yang berarti ‘pengetahuan’ karena orang yang memiliki pengetahuan hatinya akan tenang; ‘arf (عَرْف) yang berarti ‘bau harum’ karena akan menyenangkan orang yang men­ciumnya; ‘urf (عُرْف) artinya ‘kebaikan’ karena membuat orang tenang dan ‘tradisi’ karena tradisi itu membuat senang pendukung­nya; i‘tarafa (اِعْتَرَفَ) yang berarti ‘mengakui’; dan sebagainya. Aurah Khalil Abu Aurah me­nyebutkan bahwa di dalam syair-syair Jahiliyah, kata yang seakar dengan ‘arafa, seperti ‘irfân (عِرْفَان) diartikan dengan ‘ilmu’ dan ‘irf/‘urf (عُرْف/عِرْف) sering diartikan dengan ‘sabar’.

Al-Qurthubi menyamakan makna ‘urf, ma‘rûf, dan ‘ârifah (عُرْف- مَعْرُوْف- عَارِفَة), yaitu semua kebiasaan atau pekerti yang dapat diterima oleh akal sehat dan membuat jiwa menjadi tenang. Muqatil bin Sulaiman Al-Bulkhi di dalam kitabnya, Al-Asybâh wan-Nazhâ’ir fîl-Qur’ân menyebutkan bahwa kata al-ma‘rûf memunyai empat arti, yaitu 1) fardu; 2) per­siapan-persiapan yang baik; 3) bersolek bagi wanita yang habis masa iddah­nya; dan 4) segala sesuatu yang memudah­kan manusia. Pada syair-syair Arab Jahiliyah, menurut Arwah, kata ma‘rûf (مَعْرُوْف) digunakan dengan arti: 1) lawan kata munkar (مُنْكَر) karena kata munkar yang berarti majhûl (مَجْهُوْل) atau ‘tidak diketahui’, sedangkan kata ma‘rûf yang berarti ma‘lûm (مَعْلُوْم), ‘dikenal’ atau ‘diketahui’; 2) kemurahan hati atau ke­dermawanan; dan 3) secara umum, segala perbuatan yang baik.

Kata ‘arafa (عَرَفَ) dan pecahannya di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 71 kali. Kata ma‘rûf sendiri terulang 39 kali, al-ma‘rûf/ma‘rûf (المَعْرُوْف/مَعْرُوْف) terulang 38 kali dan ma‘rûfah (مَعْرُوْفة) satu kali. Penggunaan kata ‘arafa dan pecahannya di dalam Al-Qur’an berbeda dengan penggunaan di dalam syair-syair Arab, misalnya kata i‘tarafa (اِعْتَرَفَ) di dalam syair Arab diartikan ‘bertanya’ dan kata ‘urf (عُرْف) diartikan ‘sabar’, sedangkan di dalam Al-Qur’an kedua makna itu tidak digunakan. Kata ‘arafa dan pecahannya digunakan di dalam Al-Qur’an untuk beberapa arti, yakni (1) pe­ngetahuan/mengetahui sesuatu, misalnya QS. Al-Mâ’idah [5]: 83 dan QS. Yûsuf [12]: 62; (2) pengakuan atas dosa-dosa, misalnya di dalam QS. Al-Taubah [9]: 102 dan QS. Al-Mulk [67]: 11; (3) adil dan baik, misalnya di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 180; (4) yang sopan, yang indah, yang menyejukkan, misalnya di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 8 dan 9; (5) patut; misalnya di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 25; (6) yang baik menurut syara‘ atau hukum Allah dan rasul-Nya, misalnya QS. Al-Baqarah [2]: 228 dan 235; (7) tempat yang tinggi di antara surga dan neraka (QS. Al-A‘râf [7]: 46); (8) bukit tempat berkumpul di dalam ibadah haji (QS. Al-Baqarah [2]: 198); (9) saling mengenal (QS. Al-Hujurât [49]: 13); (10) lawan kata munkar (مُنْكَر); dan sebagainya.

Kata ma‘rûf dan derivasinya di dalam Al-Qur’an, tiga belas kali di antaranya di­sebutkan bersamaan dengan kata munkar (مُنْكَر), yaitu di dalam QS. آli ‘Imrân [3]: 104, 110, dan 114; QS. Al-A‘râf [7]: 157; QS. At-Taubah [9]: 67, 71, dan 112; QS. Yûsuf [12]: 58; QS. An-Nahl [16]: 83; QS. Al-Hajj [22]: 41 dan 72; QS. Al-Mu’minûn [23]: 69; dan QS. Luqmân [31]: 17. Meskipun memiliki arti yang banyak, tetapi arti tersebut tetap bermuara pada arti pokoknya, yakni ‘segala yang dapat mem­berikan ketenang­an dan ke­tentraman jiwa’ dan karenanya pula dapat ‘ber­kesinambungan’.

Terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam mengartikan kata ma‘rûf yang terdapat di dalam Al-Qur’an. 1) Al-Ashfahani mengatakan bahwa ma‘rûf adalah nama (yang digunakan) untuk setiap perbuatan yang baik menurut akal pikiran atau menurut syara’ (wahyu). 2) Para ahli tafsir menganggap kata ma‘rûf sebagai ism jâmi‘ (kata yang meliputi banyak arti) mencakup segala yang diketahui di dalam rangka ketaatan dan kedekatan kepada Allah swt. dan atau kebajikan atas manusia. Apa yang dianjurkan oleh syara‘ atau dicegahnya berupa kebaikan-kebaikan atau keburukan-keburuk­an merupa­kan bagian sifat yang umum atau perilaku yang sudah dikenal, yang tidak diingkari keberadaan­nya. 3) Al-Hakim At-Turmuzi menyebutkan bahwa kata ma‘rûf berarti ‘apa yang diketahui berdasarkan hukum-hukum Allah swt. dan Sunnah Rasul’. Ma‘rûf adalah suatu ke­harusan karena harus diterapkan dalam rangka memperbaiki akhlak. Selanjut­nya, kata ma‘rûf dapat diartikan akhlak Islam secara umum dan sebagian kebenaran-kebenar­an keimanan yang dengannya seorang Mukmin dapat mengetahui baik dan buruk dalam ber­tindak, bertingkah, atau berperilaku. 4) M. Quraish Shihab meng­anggap kata ma‘rûf sebagai istilah yang digunakan Al-Qur’an untuk konsep moral. Selanjutnya, pakar Tafsir Al-Qur’an itu menjelaskan bahwa konsep moral (ma‘rûf) sangat terkait dan tidak terpisahkan dengan peradaban dan masa. Oleh karena itu, selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih di dalam kerangka prinsip umum, perbedaan cara berperilaku suatu masya­rakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi yang lain, tetap dinilai baik (ma‘rûf).

Penggunaan kata ma‘rûf di dalam Al-Qur’an dipakai di dalam beberapa hal yang kesemuanya menunjukkan interaksi antar manusia, baik di dalam lingkup kekeluargaan maupun di dalam lingkup kemasyarakatan, yaitu berkaitan de­ngan hal-hal sebagai berikut.

1.  Hukuman qishâsh: jika seseorang harus di-qishâsh, lalu keluarga korban memaaf­kannya maka hukuman qishâsh batal, tetapi ia tetap harus membayar denda sesuai dengan per­mintaan keluarga korban dan ia harus berbuat ma‘rûf di dalam masyarakat (QS. Al-Baqarah [2]: 178).

2.  Tata cara pemberian wasiat harus berlaku adil dan baik (QS. Al-Baqarah [2]: 180 dan 240).

3.  Keutamaan Nabi daripada orang-orang Mukmin beserta keluarganya. Namun, untuk mendapatkan ke­utama­an yang mendekati apa yang dimiliki oleh Nabi, orang Mukmin harus berbuat ma‘rûf (QS. Al-Ahzâb [33]: 6).

4.  Kehidupan rumah tangga, misalnya (a) hak seorang istri seimbang dengan kewajiban­nya (QS. Al-Baqarah [2]: 228) dan (b) ke­tentuan-ketentuan bagi suami terhadap mantan istrinya, yaitu ia boleh rujuk kepada istrinya dengan cara yang baik jika telah jatuh talak dua (QS. Al-Baqarah [2]: 229).

5.  Infak, yaitu keutamaan perkataan yang baik daripada sedekah yang diikuti sesuatu yang menyakitkan hati penerima­nya (QS. Al-Baqarah [2]: 263).

6.  Pemeliharaan anak yatim dan harta­nya, larangan bagi seorang wali yang mengelola harta anak yatim untuk menyerahkannya kembali kepada pemiliknya, kecuali jika si yatim itu sudah dewasa atau sudah mampu mengelola hartanya dengan baik (QS. An-Nisâ’, 4: 5, 6).

7.  Perlakuan terhadap kerabat, anak yatim, dan orang miskin yang hadir ketika pem­bagian harta warisan, yaitu anjuran agar mem­berikan kepada mereka secukupnya dan ucapkanlah perkataan yang baik (QS. An-Nisâ’ [4]: 8).

8.  Cara memperlakukan istri, yaitu dengan baik dan tidak membuat-buat persoalan agar bisa bercerai (QS. An-Nisâ’ [4]: 19).

9.  Kewajiban memberikan maskawin kepada wanita yang dinikahi, yang ukurannya menurut yang patut di dalam masyarakat (QS. An-Nisâ’ [4]: 25).

10.Kewajiban anak kepada orang tuanya, yaitu kewajiban berbakti (QS. Luqmân [31]: 15).

11.Orang Mukmin, misalnya (a) keharus­an adanya suatu kelompok yang meng­anjur­kan kebaikan dan men­cegah kemungkaran (QS. آli ‘Imrân [3]: 104); (b) sifat orang beriman sebagai umat Muhammad saw. adalah suka mengajurkan kebaikan dan mencegah ke­mungkaran (QS. Al-A‘râf [7]: 157, QS. At-Taubah [9]: 71 dan 112; serta QS. Al-Mumtahanah [60]: 12); dan (c) kriteria pe­mimpin, yaitu harus beriman, men­dirikan shalat, menunai­kan zakat, serta menganjur­kan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. al-Hâjj [22]: 41).

12.Nasihat Luqman kepada anaknya, yaitu agar mendirikan shalat, mengajur­kan kebaikan dan mencegah ke­mungkar­an, serta bersabar atas cobaan yang menimpa (QS. Luqmân [31]: 17).

13.Sifat orang munafik, yaitu mereka me­nganjurkan kemungkaran dan men­cegah melakukan kebaikan (QS. At-Taubah [9]: 67).

Berdasarkan keterangan di atas dapat dinyatakan bahwa penggunaan kata ma‘rûf di dalam Al-Qur’an tidak hanya berkaitan dengan orang Islam tetapi juga dengan orang Nasrani dan Yahudi, bahkan orang munafik. Sesuatu dapat dianggap sebagai hal yang ma‘rûf jika dapat diterima oleh syara‘ atau wahyu dan akal. Ma‘rûf menurut wahyu adalah segala apa yang di­perintah­kan oleh Allah dan Rasul-Nya. Adapun ma‘rûf di dalam pandangan akal adalah sesuatu yang dinilai baik, tidak merugikan bagi masyarakat, dan tidak keluar dari kerangka prinsip umum.

Istilah ma‘rûf di dalam Al-Qur’an hanya digunakan di dalam interaksi antar manusia. Oleh karena itu, istilah ini tidak dapat di­identikkan dengan akhlak yang mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan ma­nusia dengan lingkungannya. Istilah ma‘rûf hanya dapat digunakan untuk konsep moral sebagaimana dipahami, yaitu perilaku yang baik untuk hubungan manusia dengan manusia. iArifuddin Ahmadi

Hasad (dengki)


HASAD (Dengki)

Kata hasad (حَسَد) berasal dari akar kata ha’, sin, dan dal, yang berarti ‘iri hati dan dengki’. Kata al-hasad (الحَسَد) dengan segala derivasinya muncul di dalam Al-Qur’an sebanyak lima kali, tersebar pada empat surah; sekali di dalam bentuk fi‘il mâdhi (kata kerja bentuk lampau), dua kali di dalam bentuk fi‘il mudhâri‘ (kata kerja masa kini dan akan datang), sekali di dalam bentuk mashdar, dan sekali di dalam bentuk ism fâ‘il.

Secara semantik, al-hasad (الحَسَد) berarti ‘keinginan lenyapnya nikmat dari seseorang yang memilikinya’, atau ‘perasaan benci terhadap nikmat yang diperoleh orang lain dan meng­inginkan agar nikmat itu berpindah tangan kepadanya’, tetapi kadang-kadang hanya ‘ke­ingin­an agar kenikmatan itu lenyap dari orang yang memilikinya karena dengki’, meskipun tidak diikuti dengan keinginan agar kenikmatan itu berpindah tangan kepadanya. Al-hasad (الحَسَد) yang terburuk adalah menentang dan berusaha merampas kenikmatan seseorang. Hal ini berbeda dengan al-ghibthah (الْغِبْطَةُ) yang berarti iri, di dalam pengertian positif, yakni keinginan seseorang untuk mendapatkan nikmat seperti yang dimiliki orang lain, tanpa diiringi dengan keinginan agar kenikmatan itu lenyap dari orang lain dan tidak pula diikuti dengan rasa benci.

Para Ahli Kitab, terutama sebagian orang Yahudi merasa dengki kepada orang-orang yang beriman (QS. Al-Baqarah [2]: 109). Sebagian mufasir menafsirkan bahwa mereka dengki terhadap pahala yang diterima orang-orang yang beriman, dan sebagian lagi menafsirkan bahwa mereka dengki karena kehadiran Nabi kepada kaum mukminin bukan dari kalangan mereka; mereka menginginkan agar Nabi turun dari kalangan mereka. Yang terakhir ini memperkuat pendapatnya dengan firman Allah di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 54.

Menurut Mutawalli Sya‘rawi, “hasûd” adalah sebuah cita-cita jahat, keinginan meng­hilangkan nikmat yang diperoleh seseorang walaupun pelaku tidak memperoleh keuntungan apapun dari perbuatannya itu. Menurutnya, al-hasad (الحَسَد) adalah perbuatan putus asa yang lebih jahat dari kekuatan gaib yang mendatangkan mudarat kepada manusia. Hasud merupakan kekuatan tersembunyi, tetapi pengaruhnya sangat besar dan dapat mendatangkan bencana.

Sayyid Quthub berpendapat bahwa meski­pun tidak diikuti dengan usaha untuk melenyap­kan kenikmatan itu, yang jelas keinginan buruk itu selalu berakibat buruk pula. Paling tidak, hubungan di antara orang yang dengki dan orang yang menjadi sasaran kedengkiannya, tidak lagi berjalan baik. Namun sulitnya, penyakit dengki itu sesuatu yang abstrak, tidak dapat dilihat sehingga sulit untuk mengobatinya. Di sinilah rahasia perintah Allah agar kita senantiasa memohon perlindungan dari penyakit itu kepada-Nya, sebagaimana  dalam QS. Al-Falaq [113]: 1-5.

Abdullah Yusuf Ali, sebagaimana juga Muhammad Abduh mengemukakan bahwa perlindungan kepada Allah dibutuhkan oleh seseorang apabila ada orang lain berupaya mewujudkan kedengkian itu kepadanya, baik kedengkian itu tertuju kepada materi atau nonmateri. Umpamanya dengan upaya sungguh-sungguh untuk menghilangkan nikmat yang ia peroleh, maka dengan bermacam cara dan dengan mengadakan perangkap-perangkap berusaha melakukan jebakan agar yang dijadikan sasaran kedengkiannya jatuh ke dalam kemudaratan. Tindakan ini biasanya sangat licik dan kadang-kadang sulit untuk mengetahuinya. Karena itu, jalan yang terbaik, kata Allah adalah berlindung kepada-Nya dari kedengkian tersebut, di antara­nya dengan membaca dan menga-malkan QS. Al-Falaq ini.

Sikap dengki adalah wujud dari ketidak­bersihan batin seseorang dan bisa dimiliki oleh siapa saja. Umpamanya di dalam diri orang beriman, yang diwujudkan di dalam bentuk dengki terhadap karunia yang diterima oleh orang lain. Bisa pula oleh orang kafir, yang diwujudkan di dalam bentuk menghalang-halangi seseorang untuk beriman kepada Allah (QS. An-Nisâ’ [4]: 54-55 dan QS. Al-Baqarah [2]: 109).

Sifat dengki bila diwujudkan akan men­dorong pelakunya melancarkan fitnah atau berita buruk tentang orang yang didengki dan sasaran­nya seringkali menjadi tidak berdaya untuk membela diri. Sifat dengki juga merupakan pertarungan sepihak tanpa diketahui oleh “lawannya”. Bahkan, kadang-kadang si pendengki mengamati tanpa sepengatahuannya. Akhirnya, ia sibuk dengan kedengkiannya dan lupa dengan kebaikan yang harus ia lakukan untuk dirinya serta kebaikan sasaran kedengkiannya. Karena itu, Rasulullah saw. bersabda,

Iyyâkum wal-hasad, fa innal hasada ya’kulul hasanât kamâ ta’kulun-nârul hathaba (Jauhilah olehmu sifat dengki, karena dengki memakan segala kebaikan sebagaimana api membakar kayu yang kering). (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah).  iBadri Yatim & Yaswirmani

Fakkara (memikirkan atau berpikir)


FAKKARA (memikirkan, berfikir)

Kata fakkara (فَكَّر) adalah kata kerja yang berakar dari huruf-huruf fâ’ (فَاء), kâf (كَاف), dan râ’ (رَاء). Ibnu Faris di dalam Mu‘jam Maqâyîsil Lughah menulis bahwa struktur akar kata ini mengandung makna pokok “bolak-baliknya hati dalam suatu masalah”. Menurut Ibrahim Mustafa di dalam Al-Mu‘jam Al-Wasîth, akar katanya adalah fakara (فَكَرَ), yang secara leksikal bermakna “mendaya­gunakan akal dalam suatu urusan dan menyusun suatu masalah yang diketahui untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui’.

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa sebagian ahli bahasa berpendapat, kata fakara terambil dari kata faraka (فَرَكَ), dengan mendahulukan huruf râ’ atas huruf kâf, yang antara lain berarti “mengorek sehingga apa yang dikorek itu muncul”, “menumbuk sampai hancur”, atau “menyikat (pakaian) sehingga kotorannya hilang”. Jadi, kata faraka mempunyai makna yang mirip dengan kata fakara. Hanya saja, kalau faraka digunakan untuk hal-hal yang bersifat materil, maka fakara digunakan untuk hal-hal yang bersifat abstrak. Oleh karena itu, sebagian pakar menambahkan bahwa kata fakara tidak digunakan kecuali terhadap sesuatu yang dapat tergambar dalam benak. Itulah sebabnya, kata mereka, ada larangan berfikir menyangkut Allah Swt, “Jangan berfikir menyangkut Allah, tetapi berfikirlah tentang nikmat-nikmat-Nya”. Alasan­nya, Allah tidak dapat difikirkan, dalam artian dzat-Nya tidak dapat tergambar dalam benak seseorang.

Al-Ghazali di dalam Ihyâ’ ‘Ulûmud-Dîn, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan fakkara adalah menghadirkan dua penge­tahuan dalam hati untuk mendapatkan pengetahuan ketiga sebagai hasil dari perpautan pengetahuan terdahulu.

Di dalam Al-Qur’an, kata fakkara dan kata-kata yang seakar dengannya ditemukan sebanyak 18 kali. Kata fakkara sendiri disebutkan hanya sekali, yakni pada QS. Al-Muddatstsir [74]: 18, اِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ  (Se­sungguhnya dia telah me­mikir­kan dan menetapkan [apa yang ditetapkannya]).

Penggunaan kata fakkara yang hanya satu-satunya di dalam Al-Qur’an adalah dalam konteks pem­bicara­an tentang Al-Walid ibnu Al-Mughirah yang dikecam oleh Al-Qur’an, karena ia telah memikirkan dan menetap­kan, seperti ditegaskan ayat tadi. M. Quraish Shihab, ketika menafsirkan ayat ini menyatakan secara pasti bahwa Al-Walid dikutuk bukan karena ia berfikir, sebab Al-Qur’an sendiri menganjurkan setiap manusia untuk selalu berfikir. Ajaran Al-Qur’an tidak menghalangi seorang muslim untuk menerima hasil pemikiran non-muslim yang baik dan ber­manfaat. Akan tetapi, Al-Walid dikutuk karena “cara” ia berfikir tidak disetujui Al-Qur’an. Cara berfikirnya mem­perturut­kan syahwat keduniaan secara berlebih-lebihan dalam rangka memenuhi ambisi, memperoleh ke­dudukan, atau harta benda, sehingga ketika itu ia tidak lagi memiliki keseimbangan. Dalam hal ini, Al-Walid tidak obyektif lagi dalam berfikir dan tentu saja hasilnya tidak akan menyentuh kebenaran, sehingga tidak membawa rahmat, atau dengan kata lain “terkutuk”.

Dari uraian lain bisa disimpulkan bahwa kata fakkara dan kata-kata yang seakar dengannya mengandung makna “memikirkan” atau “berfikir”. Makna ini juga telah masuk ke dalam perbendahara­an Bahasa Indonesia sebagai perkembang­an dari makna pokoknya, yakni “mendayagunakan akal dalam suatu masalah untuk mengetahui sesuatu yang belum di­ketahui’. (Muhammadiyah Amin)

Tasbih (Menyucikan Allah SWT)


TASBIH (Menyucikan Allah Swt.)

Kata tasbih (تَسْبِيْح) adalah bentuk masdar dari sabbaha–yusabbihu–tasbihan (سَبَّحَ- يُسَبِّحُ- تَسْبِيْحًا), yang berasal dari kata sabh (سَبْح). Menurut Ibnu Faris, asal makna kata sabh ada dua. Pertama, sejenis ibadah. Kedua, sejenis perjalanan cepat. Pengertian kata tasbih (تَسْبِيْح) berasal dari pengertian pertama, yaitu menyucikan Allah Swt. dari setiap yang jelek (tanzihullahi min kulli su’in (تَنْزِيْهُ اللهِ مِنْ كُلِّ سُوْء ), sedangkan kata tanzih (تَنْزِيْه) berarti tab‘id (تَبْعِيْد = menjauhkan). Jadi, Allah jauh dari setiap yang jelek. Sementara itu, kata subbuhun (سُبُّوْحٌ) adalah suatu sifat bagi Allah, yang berarti Allah Maha Suci dari segala sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya.

Ar-Ragib Al-Asfahani mengartikan kata as-sabh (السَّبْحُ) sebagai “berlari cepat di dalam air (berenang) atau di udara (terbang)”. Kata itu dapat dipergunakan untuk perjalanan bin­tang di langit, atau lari kuda yang cepat, atau kecepatan beramal. Dinamakan tasbih karena segera pergi untuk beramal dalam rangka menyembah Allah. Kata ini berlaku untuk melakukan kebaikan atau menjauhi kejahatan. Lebih lanjut Al-Asfahani menambahkan, tasbih bisa dalam wujud perkataan, perbuatan ataupun niat. Pengertian tasbih terakhir itu mengacu kepada pengertian isthilahi yang sudah berkembang sampai sekarang.

Kata tasbih dalam bentuk mashdar hanya disebutkan dua kali di dalam Alquran, yaitu di dalam S. Al-Isra’ [17]: 44 dan S. An-Nur [24]: 41. Di dalam bentuk fi’l madhi disebut empat kali, yaitu di dalam S. Al-Hadid [57]: 1, S. Al-Hasyr [59]: 1, S. Ash-Shaff [61]: 1, S. As-Sajadah [32]: 15. Di dalam bentuk fi‘l mu­dhari‘ disebut 20 kali, antara lain di dalam S. Al-Baqarah [2]: 30, S. Ar-Ra‘d [13]: 13, S. Al-Isra’ [17]: 44 (dua kali), S. Al-Anbiya’ [21]: 20 dan 79, S. An-Nur [24]: 36 dan 41, dan lain-lain. Dalam bentuk fi‘l amr disebut 18 kali, antara lain di dalam S. Ali ‘Imran [3]: 4, S. Al-Hijr [15]: 98, S. Maryam [19]: 11, S. Thaha [20]: 130 (dua kali), S. Al-Furqan [25]: 58, S. Al-Ahzab [33]: 42, dan lain-lain. Dalam bentuk Subhana, baik di-idhafah-kan atau tidak, disebut 41 kali, antara lain di dalam S. Yusuf [12]: 108, S. Al-Isra’ [17]: 1, 93, dan 108, S. Al-Anbiya’ [21]: 22, S. Al-Mu’minun [23]: 91, S. An-Naml [27]: 8, S. Al-Qashash [28]: 68, dan lain-lain. Dalam bentuk musabbihun, musabbihin disebut dua kali, yaitu di dalam S. Ash-Shaffat [37]: 143 dan 166.

Firman Allah di dalam S. Al-Isra’ [17]: 44 menjelaskan bahwa langit yang tujuh, bumi dan segala yang ada di dalamnya ber-tasbih kepada Allah, meskipun kita tidak mengetahui tasbih mereka. Muhammad Husain At-Thabathaba’i mengemukakan di dalam tafsirnya, tasbih di sini maksud­nya adalah tanzihun qauli (تَنْزِيْهٌ قَوْلِيٌّ = mensucikan Allah melalui ucapan). Hakikat kalam (كَلاَم) adalah mengungkapkan apa yang terdapat di dalam hati dengan bermacam-macam isyarat. Tatkala manusia tidak mendapatkan apa yang ditujunya melalui isyarat maka ia menggunakan lafaz, yaitu suara yang diperuntukkan bagi suatu pengertian. Dengan cara itu ia menunjukkan apa yang ada di dalam hatinya. Sering pula orang menggunakan isya­rat tangan, kepala dan lainnya untuk menyatakan maksudnya. Demikian juga halnya perbuatan yang menggunakan tulisan atau membuat tanda-tanda. Yang benar, demikian Husain menambahkan, tasbih semua makhluk itu adalah ucapan haqiqi; namun, tidak mesti dengan lafaz tertentu dan suara yang dibunyikan. Ditambahkannya, namun dikenal di kalangan Syi‘ah dan Ahli Sunnah, semua yang ada ini ber-tasbih kepada Allah.

Al-Qurthubi mengemukakan di dalam tafsirnya, terdapat perbedaan pendapat dalam memahami keumuman ayat ini, apakah di-takhshish atau tidak. Satu golongan ulama berpendapat, tidak di-takhshish dan tetap berlaku umum, yaitu semua makh­luk ciptaan Tuhan mengakui bahwa Allah ‘azza wa jalla adalah Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Tasbih di sini merupa­kan tasbihud-dalalah (تَسْبِيْح الدَّلاَلَة), bukan tasbihul-haqiqah (تَسْبِيْح الْحَقِيْقَة); namun, kita tidak dapat mendengar dan memahami tasbih mereka. Ada lagi yang berpendapat, meskipun kata asy-syay’ (الشَّيْء) di dalam ayat ini bersifat umum; namun, maksudnya adalah khusus, yaitu ter­tentu pada makhluk hidup dan manusia, tidak mencakup benda-benda mati. Ini dikuatkan dengan adanya ucapan ‘Ikr­imah bahwa pohon kayu ber-tasbih, sedangkan benda mati tidak.

Sayyid Quthb di dalam tafsirnya lebih menekankan hikmah yang bisa diambil oleh manusia dari tasbih yang dilakukan oleh burung dan makhluk-makhluk lainnya yang ada di langit dan dibumi. Bila makhluk lain tersebut selalu ber-tasbih kepada Allah, maka manusia lebih pantas lagi untuk melaku­kannya dan tidak sewajarnya mereka lalai.

Kata tasbih yang ada di dalam Alquran ternyata obyeknya selalu nama Allah, yaitu mereka ber-tasbih memuji Allah, sedangkan subyek atau yang melakukannya bukan hanya manusia, tetapi juga makhluk lain, seperti malaikat, jin, gunung, burung, dan makhluk-makhluk lainnya. Setiap kata subhana (سُبْحَانَ) selalu dihubungkan dengan kata Allah, atau rabbi, rabbika dan al-ladzi. Umpamanya subhanallah (سُبْحَانَ اللهِ), subhana rabbika (سُبْحَانَ رَبِّكَ ), subhana rabbi (سُبْحَانَ رَبِّ), dan Subhana al-ladzi (سُبْحَانَ الَّذِيْ). (Hasan Zaini) kutipan

Ikhtiar dan Do’a


IKHTIAR DAN DO’A

Manusia diciptakan oleh Allah Swt. memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Di samping secara biologis memiliki struktur anggota badan yang sempurna, manusia juga dilengkapi dengan kemampuan nalar (al-‘aql), hati (al-qalb), dan nafsu (an-nafs) sekaligus di dalam dirinya. Kesempurnaan struktur dan kemampuan itu menjadikan manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk yang lain. Allah Swt. menyatakan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. at-Tîn [95]: 5).

Agaknya kesempurnaan manusia itu sengaja didesain oleh Allah Swt. agar ia mampu mengemban amanah yang dipikulkan pada dirinya. Dalam hal ini, setidaknya ada dua amanah yang melekat pada diri manusia, yatiu hamba Allah (‘abd Allah) dan khalifah di muka bumi (khalîfah fi al-ardh). Manusia sebagai hamba Allah meniscayakan bahwa semua aktivitas manusia, baik yang bersifat individual maupun sosial, semata-mata ditujukan untuk pengabdian kepada Allah Swt. sebagai Dzat yang telah menciptakan. Dalam hal ini, relasi yang terjadi adalah Khaliq (Tuhan) dan makhluk (manusia). Sebagai khalifah, manusia harus mampu menjamin kelangsungan hidup di muka bumi, baik antar manusia sendiri maupun manusia dengan alam, dengan penuh kedamaian dan menjunjung tinggi keadilan. Dengan demikian, yang terjadi adalah hubungan antar sesama makhluk. Pemahaman terhadap amanah pertama itu didasarkan atas firman Allah Swt. yang menyatakan:

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. adz-Dzâriyat [51]: 56).

Sedangkan amanah kekhalifahan manusia didasarkan atas fiman-Nya:

وإذ قال ربك للملآئكة إنى جاعل فى الأرض خليفة

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfiman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS. al-Baqarah [2]: 30).

Bagi seorang muslim, kedua amanah di atas harus dilakukan secara sinergis. Sebab, ia tidak akan sukses menjadi muslim sejati jika ia hanya mampu membangun keharmonisan sesama manusia sementara ia tidak pernah mengerjakan perintah Tuhannya. Demikian juga sebaliknya, bukanlah muslim yang baik sekiranya ia selalu beribadah kepada Allah Swt. sementara ia tidak memiliki rasa solidaritas sosial. Oleh karena itu, antara kewajiban dirinya sebagai hamba Allah dengan posisinya sebagai khalifah harus dilakukan secara beriringan. Jika kedua amanah ini mampu diimplementasikan, niscaya ia menjadi orang yang berbahagia dan pada akhirnya mendapatkan kenikmatan abadi.

Kedua amanah di atas sesungguhnya dapat diimplementasikan ke dalam ranah kehidupan manusia. Posisi manusia sebagai hamba Tuhan mencerminkan kekurangan-kekurangan yang ada pada diri manusia, sebab ia ada karena diciptakan. Oleh karena itu, pengaduan dan doa yang dipersembahkan oleh manusia semuanya tercurahkan kepada Dzat yang telah menciptakan, yaitu Allah Swt. Manusia memohon bantuan hanya kepada Allah, karena Dia-lah satu-satunya Dzat yang memiliki segala-galanya.

Sementara posisi sebagai khalifah mengharuskan manusia dapat bekerja keras dan berusaha menciptakan ketentraman dan kedamaian serta mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Setiap manusia harus memiliki semangat dan tindakan nyata untuk membenahi dan terus meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Tanpa terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu, manusia dikhawatirkan gagal dalam mengemban amanah kekhalifahannya.

Oleh karena itu, doa merupakan konsekuensi posisi manusia sebagai hamba Tuhan harus dibarengi dengan kerja keras (ikhtiar) sebagai konsekuensi kekhalifahan manusia. Antara doa dan kerja keras keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya dapat diilustrasikan sebagai dua sisi mata uang. Jika salah satunya saja yang dikerjakan, niscaya menghantarkan manusia pada jurang kehancuran dan keputusasaan. Jika seseorang telah bekerja keras lalu pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa, maka itu menunjukkan ada peranan Tuhan yang menentukan. Keyakinan bahwa rizki itu ditentukan oleh Tuhan akan menimbulkan kesadaran untuk bersikap qana’ah, menerima apa adanya atas hasil usaha yang dilakukan. Tentu saja, sikap demikian menimbulkan implikasi sikap anti putus asa.

Demikian juga dengan doa yang mengharuskan adanya usaha dan kerja keras. Doa tidak akan membuahkan apa yang diharapkan tanpa dibarengi dengan ikhtiar. Allah Swt sebagai Dzat pemberi rizki dan kenikmatan, tidak melakukan pemberian secara langsung. Pemberian Tuhan itu ditransformasikan melalui aktivitas-aktivitas sosial yang bermanfaat, tidak secara instan dalam wujud nyata. Atas dasar pemahaman ini, maka harus difahami dengan baik firman Allah Swt. di bawah ini:

وقال ربكم ادعونى أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبايتى سيدخلون جهنم داخرين

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” (QS. al-Mu’min [40]: 60).

Dalam pemahaman leksikal, ayat di atas memiliki kecenderungan bahwa Allah Swt. akan memberikan secara langsung terhadap apa yang didoakan manusia. Pemahaman ini tentu tidak dapat dibenarkan. Ayat ini harus dilihat bahwa dalam aktivitas sosial, termasuk kegiatan ekonomi, tidak dapat dilepaskan dari peran Tuhan.

Doa dan ikhtiar sebagai keharusan yang dilakukan oleh manusia secara sinergis dalam segala aktivitas juga dapat dipahami dari term-term yang digunakan oleh Allah Swt. dalam ayat-ayat al-Qur’an. Di antara term yang cukup kuat untuk alasan itu adalah kata îmân dan amal shâlih. Kedua kata tersebut dalam al-Qur’an seringkali dinyatakan secara bergandengan. Sebut saja misalnya QS. al-Baqarah [2]: 25 yang menyatakan:

وبشر الذين أمنوا وعملوا الصالحات أن لهم جنات تجرى من تحتها الأنهار

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik (amal saleh) bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai di dalamnya”.

Makna yang terkandung dalam rangkaian iman dan amal saleh ini adalah adanya sinergi antara kepasrahan kepada Tuhan, sehingga kita harus berdoa kepada-Nya, dan aktivitas manusia, sehingga kita harus berikhtiar. Dengan melakukan doa dan kerja keras, menurut QS. al-Baqarah [2]: 25 ini dijanjikan ia akan mendapatkan kebahagaian surga dengan aneka kenikmatan yang tiada terkira.

Atas dasar uraian di atas, kesimpulan yang dapat dipetik adalah kita sebagai manusia yang memiliki keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, mau tidak mau harus terus melakukan doa dan ikhtiar secara kontinyu dalam segala hal. Demikian, mudah-mudahan bermanfaat. Bârakallâhu lî wa lakum.
Sumber :
Ditulis oleh Dr. H. Muslim Nasution.

Action Research / Penelitian Tindakan Published Juli 5th, 2008 Seputar SIMKES UGM Technorati Tags: action research,penelitian,tindakan,penelitian tindakan


Definisi

Action research atau penelitian tindakan merupakan salah satu bentuk rancangan penelitian, dalam penelitian tindakan peneliti mendeskripsikan, menginterpretasi dan menjelaskan suatu situasi sosial pada waktu yang bersamaan dengan melakukan perubahan atau intervensi dengan tujuan perbaikan atau partisipasi. Action research dalam pandangan tradisional adalah suatu kerangka penelitian pemecahan masalah, dimana terjadi kolaborasi antara peneliti dengan client dalam mencapai tujuan (Kurt Lewin,1973 disitasi Sulaksana,2004), sedangkan pendapat Davison, Martinsons & Kock (2004), menyebutkan penelitian tindakan, sebagai sebuah metode penelitian, didirikan atas asumsi bahwa teori dan praktik dapat secara tertutup diintegrasikan dengan pembelajaran dari hasil intervensi yang direncanakan setelah diagnosis yang rinci terhadap konteks masalahnya.

Menurut Gunawan (2007), action research adalah kegiatan dan atau tindakan perbaikan sesuatu yang perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya digarap secara sistematik dan sistematik sehingga validitas dan reliabilitasnya mencapai tingkatan riset. Action research juga merupakan proses yang mencakup siklus aksi, yang mendasarkan pada refleksi; umpan balik (feedback); bukti (evidence); dan evaluasi atas aksi sebelumnya dan situasi sekarang. Penelitian tindakan ditujukan untuk memberikan andil pada pemecahan masalah praktis dalam situasi problematik yang mendesak dan pada pencapaian tujuan ilmu sosial melalui kolaborasi patungan dalam rangka kerja etis yang saling berterima (Rapoport, 1970 disitasi Madya,2006). Proses penelitian bersifat dari waktu ke waktu, antara “finding” pada saat penelitian, dan “action learning”. Dengan demikian action research menghubungkan antara teori dengan praktek.

Baskerville (1999), membagi action research berdasarkan karakteristik model (iteratif, reflektif atau linear), struktur (kaku atau dinamis), tujuan (untuk pengembangan organisasi, desain sistem atau ilmu pengetahuan ilmiah) dan bentuk keterlibatan peneliti (kolaborasi, fasilitatif atau ahli.

Tujuan dan ciri-ciri Penelitan Tindakan.

Penelitian tindakan bertujuan untuk memperoleh pengetahuan untuk situasi atau sasaran khusus dari pada pengetahuan yang secara ilmiah tergeneralisasi. Pada umumnya penelitian tindakan untuk mencapai tiga hal berikut : (Madya,2006)

  • Peningkatan praktik.
  • Peningkatan (pengembangan profesional) pemahaman praktik dan praktisinya.
  • Peningkatan situasi tempat pelaksanaan praktik.

Hubungan antara peneliti dan hasil penelitian tindakan dapat dikatan hasil penelitian tindakan dipakai sendiri oleh penelitinya dan tentu saja oleh orang lain yang menginginkannya dan penelitiannya terjadi di dalam situasi nyata yang pemecahan masalahnua segera diperlukan, dan hasil-hasilnya langsung diterapkan/dipraktikkan dalam situasi terkait. Selain itu, tampak bahwa dalam penelitian tindakan peneliti melakukan pengelolaan, penelitian, dan sekaligus pengembangan.

Penelitian tindakan (action research) dilaksanakan bersama-sama paling sedikit dua orang yaitu antara peneliti dan partisipan atau klien yang berasal dari akademisi ataupun masyarakat. Oleh karena itu, tujuan yang akan dicapai dari suatu penelitian tindakan (action research) akan dicapai dan berakhir tidak hanya pada situasi organisatoris tertentu, melainkan terus dikembangkan berupa aplikasi atau teori kemudian hasilnya akan di publikasikan ke masyarakat dengan tujuan riset (Madya,2006).

Sementara itu, peneliti perlu untuk membuat kerjasama dengan anggota organisasi dalam kegiatan ini, membuat persetujuan eksplisit dengan klien. Pelaporan secara rutin mengenai jalannya kegiatan dapat mencerminkan ciri khusus dari kesepakatan ini. Baik peneliti maupun klien dapat memiliki peran dan tanggungjawab ganda, meskipun ini dapat berubah selama perjalanan kegiatan berlangsung, tetapi penting untuk menentukan aturan awal pada bagian luar proyek agar dapat mencegah konflik kepentingan dan menghindari ancaman terhadap hak prerogatif pribadi atau jabatan mereka. Adalah sangat penting membuat kesepakatan terlebih dahulu mengenai sasaran dari penelitian, kemudian dapat dilakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan. Berikut tahapan penelitian tindakan (action research) yang dapat ditempuh yaitu : (Davison, Martinsons & Kock (2004) lihat Gambar berikut : Siklus action research, (Davison, Martinsons & Kock (2004)

Davison, Martinsons & Kock (2004), membagi Action research dalam 5 tahapan yang merupakan siklus, yaitu :

1. Melakukan diagnosa (diagnosing)

Melakukan identifikasi masalah-masalah pokok yang ada guna menjadi dasar kelompok atau organisasi sehingga terjadi perubahan, untuk pengembangan situs web pada tahap ini peneliti mengidentifikasi kebutuhan stakeholder akan situs web, ditempuh dengan cara mengadakan wawancara mendalam kepada stakeholder yang terkait langsung maupun yang tidak terkait langsung dengan pengembanga situs web.

2. Membuat rencana tindakan (action planning)

Peneliti dan partisipan bersama-sama memahami pokok masalah yang ada kemudian dilanjutkan dengan menyusun rencana tindakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang ada, pada tahap ini pengembangan situs web memasuki tahapan desain situs web. Dengan memperhatikan kebutuhan stakeholder terhadap situs web penelitian bersama partisipan memulai membuat sketsa awal dan menentukan isi yang akan ditampilkan nantinya.

3. Melakukan tindakan (action taking)

Peneliti dan partisipan bersama-sama mengimplementasikan rencana tindakan dengan harapan dapat menyelesaikan masalah. Selanjutnya setelah model dibuat berdasarkan sketsa dan menyesuaikan isi yang akan ditampilkan berdasarkan kebutuhan stakeholder dilanjutkan dengan mengadakan ujicoba awal secara offline kemudian melanjutkan dengan sewa ruang di internet dengan tujuan situs web dapat ditampilkan secara online.

4. Melakukan evaluasi (evaluating)

Setelah masa implementasi (action taking) dianggap cukup kemudian peneliti bersama partisipan melaksanakan evaluasi hasil dari implementasi tadi, dalam tahap ini dilihat bagaimana penerimaan pegguna terhadap situs web yang ditandai dengan berbagai aktivitas-aktivitas.

5. Pembelajaran (learning)

Tahap ini merupakan bagian akhir siklus yang telah dilalui dengan melaksanakan review tahap-pertahap yang telah berakhir kemudian penelitian ini dapat berakhir. Seluruh kriteria dalam prinsip pembelajaran harus dipelajari, perubahan dalam situasi organisasi dievaluasi oleh peneliti dan dikomunikasikan kepada klien, peneliti dan klien merefleksikan terhadap hasil proyek, yang nampak akan dilaporkan secara lengkap dan hasilnya secara eksplisit dipertimbangkan dalam hal implikasinya terhadap penerapan Canonical Action Reaserch (CAR). Untuk hal tertentu, hasilnya dipertimbangkan dalam hal implikasinya untuk tindakan berikutnya dalam situasi organisasi lebih-lebih kesulitan yang dapat dikaitkan dengan pengimplementasian perubahan proses.

Hasilnya juga dipertimbangkan untuk tindakan ke depan yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan domain penelitian, terutama akibat kegiatan yang terjadi diluar rencana awal (atau kelambanan) dan cara di mana peneliti dapat kurang hati-hati melakukan penyelesaian kegiatan dan dalam hal implikasi untuk komunitas penelitian secara umum dengan mengidentifikasi keuntungan penelitian di masa datang. Di sini, nilai action research akan terangkat (bahkan sebuah proyek yang gagal dapat tetap menghasilkan pengetahuan yang bernilai), dan juga merupakan kekuatan status quo dalam lingkungan (organisasi) sosial untuk mencegah perubahan dari proses yang telah berlalu.

Dari penjelasan di atas kita dapat melihat dengan jelas bahwa penelitian tindakan berurusan langsung dengan praktik di lapangan dalam situasi alami. Penelitiannya adalah pelaku praktik itu sendiri dan pengguna langsung hasil penelitiannya dengan lingkup ajang penelitian sangat terbatas. Yang menonjol adalah penelitian tindakan ditujukan untuk melakukan perubahan pada semua diri pesertanya dan perubahan situasi tempat penelitian dilakukan guna mencapai perbaikan praktik secara inkremental dan berkelanjutan (Madya,2006).

Beberapa kawan-kawan di Simkes angkatan I dan II melaksanakan penelitian dimaksud. Bila anda berminat dengan penelitian tindakan saran saya :

  • Siapkan Rencana Yang Matang, bila perlu siapkan rencana cadangan.
  • Usahan Schedule ditepati.
  • Memperbanyak dokumentasi selama pelaksanaan penelitian.
  • Siapkan alat perekam yang baik.
  • CAR menurut saya sebaiknya dipergunakan karena mempertegas akhir penelitian.

Pustaka :

Baskerville,L.R. (1999) Journal : Investigating Information System with Action Research, Association for Information Systems: Atlanta

Sulaksana,U., (2004), Managemen Perubahan, Cetakan I, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.

Davison, R. M., Martinsons, M. G., Kock N., (2004), Journal : Information Systems Journal : Principles of Canonical Action Research 14, 65–86

Madya, S, (2006) Teori dan Praktik Penelitian Tindakan (Action Research), Alfabeta: Bandung.

Gunawan, (2004), Makalah untuk Pertemuan Dosen UKDW yang akan melaksanakan penelitian pada tahun 2005, URL : http://uny.ac.id, accersed at 19 Mei 2007, 15.25 WIB.

saling mengingatkan


“Jika seorang hamba jujur dalam perbuatannya, ia akan dapat merasakan perbuatan itu sebelum melakukannya”[Abu Turab Askar An Nakhsyabi]

Akhirat. Seperti sahabat sejati. Ia akan terus melambai, bila kita masih jujur padanya. Ia akan merindukan kita, bila kita juga merindukannya. Ia akan menyiapkan sambutan untuk kita, bila kita masih setia berjalan menuju kepadanya. Kesetiaan seorang mukmin yang mencari cinta sejati adalah cinta yang menghidupkan dan memastikan harapan. Kesetiaan seorang mukmin yang mengerti bahwa dunia hanya teman sementara, kawan yang menangkar mawar tapi juga durinya, madu tapi juga racunnya, manis tapi juga pahitnya. Ada rahasia yang sangat pribadi didalam setiap diri kita. Mengakui kesalahan dihadapan Allah, ditengah kesendirian yang berkuasa terhadap keputusan diri sendiri, di tengah pilihan pribadi yang sangat merdeka. Itu tidak mudah.Hanya orang-orang besar yang berani jujur pada dirinya, pada Allah, bila karena satu dan lain hal, ia melakukan kesalahan, ia menyadari, lalu memohon ampun kepadaNya. ”Ketahuilah, apabila orang tidak menolong dirinya dan bertindak sebagai penasehat dan pemberi peringatan bagi dirinya, maka tak ada orang lain yang dapat dengan efektif menjadi penasehat dan pemberi peringatan baginya” [ Ali bin Abi thalib]

berbagi tausyiah islami


BERSYUKURLAH

Bersyukurlah bahwa kamu belum siap memiliki segala sesuatu yang kamu inginkan…

Seandainya sudah, apalagi yang harus diinginkan???

Bersyukurlah apabila kamu tidak tahu sesuatu, karena itu memberimu kesempatan untuk belajar

Bersyukurlah untuk masa sulit, karena dimasa itulah kamu bertumbuh

Bersyukurlah untuk keterbatasanmu, karena itu memberi kesempatan untuk berkembang

Bersyukurlah untuk setiap tantangan baru, karena itu akan membangun kekuatan dan karaktermu

Bersyukurlah untuk kesalahan yang kamu buat,karena  itu akan mengajarkan pelajaran yang berharga

Bersyukurlah bila kamu lelah dan letih, karena itu kamu telah membuat suatu perbedaan…

Mungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal baik…

Hidup yang berkelimpahan datang pada mereka yang juga bersyukur akan masa yang surut…

Rasa syukur dapat mengubah hal yang negatif menjadi positif

Temukan cara untuk bersyukur akan masalah-masalahmu

Semua itu akan menjadi berkah bagimu…

Kita diciptakan dengan dibekali kelalaian, kefakiran, kelemahan dan kebutuhan. Agar dengan teropong kelalaian kita, kita dapat memandang pada kesempurnaannya. Dengan ukuran kefakiran kita, kita dapat memandang keMahaBesaranNya

Penat-penatlah dalam dakwah, lelah-lelahlah dalam dakwah.Boleh jadi ketika semua amalan kita tak cukup sebagai bekal, maka bulir-bulir air mata, penat dan tetes keringat itulah yang jadi saksi…

Jangan sedih, rahmat Allah begitu luas. Mereguk kesabaran memang pahit, tapi sangat manis buahnya. Carilah hikmah dari setiap kejadian. InsyaAllah tidak ada kekecewaan atas ketidak sempurnaan atas manusia dan dunia

Perkataan yang baik tidak akan timbul dari jiwa yang kotor, seperti benih yang tidak akan tumbuh pada tanah yang gersang

Apa kabar cinta? Masihkah tetap untukNya?? Apa kabar hati? Masihkah sebening embun pagi? Apa kabar jiwa ?? Masihkah ingin syahid di jalanNya??

Saudaraku yang menjual masa mudanya di jalan Allah. Adakah yang lebih berat dari terus mencoba tapi tidak segera berhasil, terus berjuang mengandalkan kesabaran, tapi belum juga tercapai??Tetap semanga!! Balasan Allah menanti…

Aku mungkin bukan teman sempurna yang kamu cari, bukan juga yang terbaik diantara semuanya. Tapi yang pasti aku teman yang selalu ingat danmengasihimu kamu disetiap waktu

Bila ada yang senada denganku
Kuyakin mereka Cuma kenalanmu
Bukan saudaramu.
Dalam jiwaku kau tetap masih dalam
fase yang sama denganku
Walaupun kutahu kau tak diam seperti
aku
Kau berlari,merangkak, walau sekali-kali
sama denganku
Itu yang selalu jadi kebanggaanku
untukmu

Tapi kebanggaanku tidak mutlak
menjadikan
aku selalu bercermin pada punggungmu
Sebab aku kenal dirimu.
Kita berbeda!!!

Begitulah hukum
Yang selalu mutlak dalam segala
kejadian
Yang menjadikan setiap perbedaan
Sebagai konsekuensi nyata hak
kehidupan setiap kita

Yang pasti perbedaan itulah yang
membuat kita selalu bersama
Dalam setiap alunan cinta atau nada
lirih sekalipun

Jadilah manusia-manusia langit
Yang dengan sayapnya dapat meringankan beban bumi
Jadilah manusia-manusia langit
Dengan biru lembutnya, mampu memberi keteduhan pada bumi
Jadilah manusia-manusia langit dengan sejuta keutamaannya
Ia istimewa karena rela berkorban, dengan tubuhnya ia payungi bumi
Agar tidak kepanasan …
Ia menjadi mulia, karena baginya … memberi adalah sebuah keindahan,
Keindahan dan keindahan …

Tapi manusia langit bukan segalanya
Diatas kecantikannya … Allah-lah yang maha sempurna
Manusia langit bukanlah segalanya.
Sayapnya bisa lelah, birunya dapat tertutup awan hitam
Tubuhnya tidak mampu menutup seluruh bumi

Dan ia perlu menerima
Menerima sebuah kekuatan untuk menjalankan tugasnya
Karenanya …
Dipagi hari ia berdzikir
Saat siang ia bekerja dan
Malam hari ia berkhalwat dengan Rabbnya
SEBAB TANPA RABBNYA … IA PASTI BUKAN APA-APA …